Love Hidden # 5

Main Cast     : Jessica, Jackson
Support Cast : Novy,Michle,David


******************************************************

Beberapa orang segera menggotong tubuh Michle ke dalam mobil ambulance dan berkumpul di sekitar mobil itu untuk melihat kondisi Michle. Jessica dan Novy segera naik ke atas mobil bersama dua orang pria teman Jessica. Jackson mendekat kearah ambulance dan hendak ingin naik, namun tubuhnya didorong begitu saja oleh Jessica.

“Kau menunggu saja di sini. Tidak usah ikut. Jika kau tidak melakukan apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Jessica dingin.
“Tapi..”
“Jangan membantah!” tukas Jessica. Terdengar nada kesal yang tertahan lewat mulutnya, tapi gadis itu berusaha menahan diri untuk tidak mengusik emosinya di depan orang banyak. “Kita akan bicara nanti setelah kak Michle berada di rumah sakit.”

Seorang pria petugas ambulance mendorong tubuh Jackson untuk mundur dan menutup pintu ambulance. Jackson memandangi mobil ambulance itu pergi dengan perasaan penuh oleh rasa bersalah. Dan ketika mobil itu menghilang dari pandangannya, ia masih berharap bahwa kejadiannya ini hanya mimpi belaka. 
***
Dokter itu melepas gagang kacamatanya dan menatap kedua gadis di hadapannya sambil tersenyum lembut. Jessica dan Novy kesulitan untuk mengartikan senyuman itu, karena bisa jadi senyuman itu berarti kabar baik, namun bisa juga hanya sebagai alibi sang dokter untuk menenangkan keduanya kalau-kalau ada kabar buruk.

“Bagaimana keadaan Kak Michle? Apakah keadaannya sangat parah?” desak Jessica.

Dokter itu menggeleng. “Ia sudah baik-baik saja. Sebenarnya, kejadian yang tidak diinginkan bisa saja terjadi jika kalian terlambat membawanya kemari, tapi karena kalian tepat waktu, Michle akan baik-baik saja.”
Benarkah? Apakah tidak mengalami gegar otak atau semacamnya?” tanya Novy.

Dokter itu menggeleng lagi. Tidak. Kalian mungkin salah paham. Michle tidak mengalami pendarahan melalui kepalanya, tapi bagian belakang lehernya yang mengalami sedikit cedera. Aku rasa ia harus menerima perawatan intensif selama beberapa minggu di rumah sakit dan baru bisa beristirahat di rumah selama dua minggu.”

Kedua gadis itu saling bertukar pandang dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah mereka harus merasa sedih dan panik atau bahagia dan lega.

“Kau dengar apa yang dikatakan dokter itu tadi,?” tanya Jessica sambil menggenggam tangan sahabatnya itu. “Ia bilang Kak Michle membutuhkan beberapa minggu untuk mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit dan butuh dua minggu untuk beristirahat di rumah.”

Novy bisa merasakan keringat yang keluar dari telapak tangan Jessica dan bisa membaca gerak tubuh sahabatnya itu. Jessica sedang merasakan panik dan ketakutan yang luar biasa.
“Sica..,” panggilnya, berusaha mencari-cari sosok Jessica yang tenang.

Tidak!!!!! Ini tidak boleh terjadi!”

Novy melihat Jessica mulai menggeleng dengan frustasi. Ini adalah hal yang terberat yang pernah dialami Jessica. Ia sangat perfeksionis dan satu kesalahan fatal saja bisa membuatnya drop. Novy memahami itu, tapi tidak tahu harus berbuat apa.

***
Matahari hampir tenggelam. Pria itu berdiri di depan jendela kamar Jessica seperti biasa, namun dengan nuansa yang berbeda. Ia mendongak untuk melihat keadaan di kamar Jessica dan sebenarnya tahu bahwa gadis itu belum juga pulang. Jackson menerima pesan singkat dari Novy dan menyuruhnya untuk datang ke rumah Jessica karena mereka berdua tidak akan kembali ke kampus.

Jackson sempat menanyakan keadaan Michle pada Novy, tapi gadis itu menolak untuk menjelaskan. “Aku akan menjelaskannya nanti begitu kami tiba di rumah Jessica. Sebaiknya kau menyiapkan mental, karena aku yakin akan ada hal buruk yang terjadi,” begitu kata Novy di ujung telepon.

Matahari hampir tenggelam di ufuk Barat dan Jackson merasakan jantungnya memompa semakin cepat. Ia mulai merasa khawatir, mual, dan keringat dingin. Disamping itu, ia mencoba untuk mempersiapkan mental seperti yang Novy sarankan padanya.

Tak berapa lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan rumah Jessica. Jackson menelan ludah saat melihat Jessica dan Novy keluar dari dalam taksi. Matanya mencoba menangkap segala maksud tertentu yang digambarkan oleh raut wajah Jessica saat itu. gadis itu terlihat pucat dan kelelahan. Novy bahkan harus membantunya untuk keluar dari taksi dan memapah tubuhnya ketika berjalan.

“Apa yang terjadi? Bagaimana dengan Kak Michle? Apakah ia baik-baik saja?” tanya Jackson begitu Novy dan Jessica menghampirinya.

Novy melirik Jessica yang menunduk dengan raut dingin. “Hm, ia baik-baik saja.”
Jackson mendesah lega. “Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Tadinya kupikir ia akan mengalami gegar otak atau semacamnya.”

Apa? Kau sudah merasa lega sekarang, huh?” Tiba-tiba saja Jessica mendongak dan mendorong tubuh Jackson dengan kasar, membuat pria itu terlonjak melihat reaksi Jessica yang sangat mendadak.

“Sica…,” Novy berusaha menenangkan gadis itu tapi Jessica tampak tak bisa menguasai dirinya.

Tak cukup hanya dengan sebuah dorongan kasar, Jessica mulai memukul-mukul bahu dan dada Jackson dengan kesal dan penuh dendam. Kau! Kau pria brengsek! Pria pengacau!”

Hei ! Apa yang kau lakukan?” ringis Jackson kesakitan.

Jessica tiba-tiba berhenti memukul pria itu karena kelelahan dan kehabisan napas. Jackson terkesiap saat melihat gadis itu berlinang air mata. Ini adalah pertama kalinya Jackson melihat gadis itu menangis.
“Kau tahu, Kak Michle harus istirahat selama empat minggu dan kau tahu apa artinya itu?” teriak Jessica. Jackson menggeleng. “Itu artinya rencanaku untuk membuat drama ini gagal total! Dramaku harus sudah sempurna dalam tiga minggu terakhir ini tapi kau mengacaukannya, brengsek!”

Jackson tertunduk dalam. Maafkan aku Sica….”

Jessica mengusap air mata yang mengalir di pipinya dan tertawa histeris.

Apa ? Maaf ? Apa kau pikir kata maafmu itu bisa membuatnya kembali seperti semula, huh?”

“Sica, sudahlah!” Novy kembali menarik lengan sahabatnya itu untuk berhenti menyudutkan Jackson.

“Lepaskan aku!” Jessica menepis tangan Novy dan kembali menatap Jackson dengan tajam. “Aku sungguh tidak mengerti mengapa pria seperti dirimu bisa hadir di hidupku. Kau selalu datang ke rumahku, mengacaukan malamku, mengacaukan hari-hariku di kampus, membuatku merasa terpenjara dengan tingkah-tingkah konyolmu yang selalu menganggapku sebagai pacar mu. Kau pikir aku merasa senang dengan itu? Kau pikir aku akan merasa terluluh dan menerimamu? Kau sudah sinting jika kau berpikir aku akan mencintai pria pengacau sepertimu!”

Jackson merasakan hatinya hancur saat mendengar betapa kejamnya kata-kata Jessica. Tapi pria itu hanya diam dan menunggu Jessica melanjutkan ucapannya.

“Kau mendengarkanku, bukan? Kau itu pria pengacau, Jackson! Pria pengacau! Kau cemburu jika aku bertingkah baik pada Kak Michle dan kau sengaja melakukan ini semua!”

Kini Jackson balik menatap Jessica dengan tajam dan dingin saat gadis itu menuduhnya yang tidak-tidak. Apa? Apa kau sadar bahwa kau sudah mengatakan hal yang sangat keterlaluan?” tanya Jackson dengan nada kesal yang tertahan. “Aku mungkin memang mencintaimu, sangat mencintaimu, aku mungkin juga sangat cemburu jika melihatmu bersama pria lain, terutama kak Michle. Tapi aku bukanlah pria berpikiran picik seperti yang kau pikirkan. Walau aku merasa tersisihkan setiap kali kau bersama kak Michle, aku tidak akan sampai hati melakukan hal sekejam itu pada Kak Michle.”

Jackson bisa merasakan hatinya kini benar-benar menjadi serpihan debu. Air mata mengalir dari matanya, sesuatu yang seharusnya tak pernah ia lakukan di depan gadis yang ia cintai. Sementara itu Jessica membeku di depannya dan tak mampu berkata apa-apa.

“Aku tahu, aku mungkin hanyalah pria bodoh yang selalu bersikap seenaknya, tapi aku tidak pernah memaksamu untuk membalas mencintaiku. Aku mencintaimu dengan tulus, tapi maafkan aku jika semua itu justru mengacaukan hidupmu,” kata Jackson sambil mengusap air matanya dengan buru-buru.

“Dan jika hidupmu kacau karena aku, aku akan dengan rela hati untuk pergi dari kehidupanmu, seperti yang selalu kau idam-idamkan selama ini, bukan? Baiklah, aku akan pergi, lanjut Jackson dengan lirih.
Jessica hanya diam ketika melihat Jackson berjalan melewatinya dan meninggalkannya begitu saja. Sementara itu Jackson terus berjalan dan terisak seperti anak kecil. Pria itu sempat menoleh kearah Jessica dan memerhatikan punggung gadis itu yang tengah membelakanginya. Dan setelah itu, ia kembali membalikkan badan dan menghilang dibalik belokan jalanan.
***
Keesokan harinya, suasana aula tampak gaduh. Jessica mulai kerepotan karena harus melaksanakan audisi mendadak untuk mengganti peran Michle sebagai Romeo. Gadis itu berusaha membagi waktu seefisien mungkin karena setelah ini, masih ada beberapa sesi latihan untuk peran-peran penting lainnya.
Dua jam berlalu dan Jessica mulai lelah, sementara antrian audisi mendadak itu masih panjang. Tapi gadis itu belum juga menemukan sosok yang tepat untuk menggantikan Michle. Gadis itu mengabsen satu per satu pemeran yang hadir dan baru menyadari bahwa Jackson adalah satu-satunya yang tak hadir.
“Dimana Jackson?” tanyanya pada yang lain.
Pemeran-pemeran yang lain saling bertukar pandang dan mengangkat bahu secara bersamaan. Tak ada satu pun yang melihat Jackson sejak dari tadi dan ini semakin membuat Jessica merasa frustasi. Ia akhirnya memutuskan untuk mencari keberadaan Jackson seorang diri. Ia berkeliling kampus, ke kelas-kelas, beberapa tempat mengumpul yang ia tahu sering dihadiri Jackson, dan baru mendapati pria itu di kantin bersama seorang temannya, David.

Jessica langsung menghampiri pria itu dan melabrak meja dengan kasar. Hei ! mengapa kau tidak datang ke latihan?”

Jackson mendongak sekilas dan tak memasang ekspresi apa pun. Pria itu melirik David lalu tersenyum pada temannya itu. “David, aku pergi ke kamar mandi dulu,” katanya pada David lalu bangkit berdiri.

Jessica mengamati perubahan sikap Jackson dengan perasaan aneh. Pria itu bertindak seolah-olah tak ada Jessica disana. Gadis itu berpaling pada David untuk meminta penjelasan atas sikap aneh Jackson tapi David juga mengangkat bahu, tak tahu-menahu. Ia mencoba mengejar langkah Jackson yang semakin menjauh dari kantin dan menarik lengan pria itu untuk menghentikannya.

Hei !  , aku memanggilmu sejak tadi, apa kau tidak mendengarnya atau berpura-pura tidak mendengarnya?”

Jackson hanya menatap gadis itu dengan raut datar. Ia melepaskan tangan Jessica dari lengannya dan kembali berjalan meninggalkan Jessica.

Kali ini Jessica hanya diam dan membiarkan Jackson pergi. Ia merasa bingung dan aneh dengan sikap Jackson yang tiba-tiba berubah dingin. Apakah ini semua karena kejadian kemarin? Apakah ia sedang melaksanakan ucapannya sendiri bahwa ia akan berhenti menggangguku? Atau, apa ia marah karena ucapanku kemarin?

Pertanyaan-pertanyaan itu saling berdesakan di benak Jessica, membuat gadis itu merasa kesal. Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan menganggap bahwa itu menjadi pertanda baik. Tak ada lagi pria yang akan datang mengunjunginya setiap malam, mengacaukan hari-harinya di kampus, bertindak seenaknya pada dirinya, dan tidak akan lagi ada pria bernama Jackson dalam hidupnya.

***
Maafkan aku, aku tidak bisa ikut main dalam dramamu dan menyusahkanmu karena harus mencari penggantiku,” kata Michle dengan wajah pucatnya.

Jessica mengangguk dan mengulum senyum. Tidak apa-apa. Fokuslah pada kesembuhanmu dan jangan terlalu memikirkannya. Lagipula, ini bukan salahmu tapi salah Jackson. Aku sampai tidak habis pikir mengapa ia melakukan hal ini padamu.”

Pria itu menyambut usapan tangan Jessica pada punggung tangannya dan tersenyum lembut. Tidak. Aku yakin ia tidak bermaksud melakukannya. Tapi, kalau memang iya, mungkin ia terlalu cemburu karena melihatku selalu berdekatan denganmu.”

Jessica tak tahu harus berkata apa dan hanya tertawa kecil. Sejujurnya, ia kembali mempertanyakan pertanyaan itu pada dirinya, apakah benar Jackson pria kekanak-kanakan itu berani melakukan hal sefatal ini pada Michle? Entah kenapa, hati kecil Jessica mulai bergejolak dan menolak jawaban tersebut. Hati kecilnya mempercayai bahwa Jackson tidak mungkin melakukan hal itu pada Michle.

“Oh yah, mengapa kau tidak meminta Jackson menjadi Romeo? Aku kira aktingnya sangat bagus,” ujar Michle. “Peran ayah Romeo juga tidak terlalu penting, jadi kau bisa menyingkirkan peran itu dan membiarkan Jackson mendapatkan peran Romeo.”
Jessica tersenyum kecut. “Tidak, ia tidak pantas memerankan Romeo.”

“Tapi semua orang memuji aktingnya. Aku sendiri sempat merasa bingung saat kau memilihku untuk memerankan Romeo karena aku merasa masih mempunyai banyak kekurangan. Jackson malah terlihat lebih pantas menerima peran itu daripada aku. Kau perlu bicara dengannya sebelum hari H tiba.”
Jessica mengangguk. Ya, mungkin itu ide yang bagus.” Tapi tidak akan pernah terjadi, lanjutnya dalam hati.

***
Jessica merebahkan diri di atas ranjang sambil menatap jam dinding di kamarnya dengan perasaan gelisah. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Jessica mulai merasa kantuk, tapi ada perasaan aneh di dalam dadanya yang memaksanya untuk tetap terjaga. Gadis itu beralih menatap jendela kamarnya yang kini ia biarkan terbuka. Angin malam mulai masuk dan membisikkan rasa kesepian di telinga gadis itu.

Jessica bangkit dan berdiri di depan jendela sambil memangku dagu. Ia memandang kearah bawah dan melihat suasana jalanan yang sangat sepi. Hanya terdengar suara samar-samar anjing yang menyalak di kejauhan.
Seharusnya ia sudah datang sejak pukul tujuh tadi, pikirnya. Tapi kenapa ia tidak datang juga? Apa ia benar-benar marah padaku?

Jessica mengalihkan pandangannya pada kusen jendelanya yang berwarna putih kusam. Terdapat beberapa tempat yang catnya terkelupas akibat terkena hantaman lemparan batu. Gadis itu selalu mengingat bahwa Jackson pada setiap malam akan melempari jendela kamarnya dengan batu kerikil.
Jessica terus termenung di depan jendela sampai akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Matanya mulai kesulitan untuk bertahan dan angin malam semakin dingin. Lampu-lampu kota mulai padam dan suasana terasa sangat sepi. Tak ada lagi suara anjing yang menyalak hanya suara bising yang ditimbulkan dari arah kota yang masih sibuk akan dunia tengah malam.
Gadis itu menyentuh tempat-tempat pada kusen jendelanya yang catnya telah terkelupas dengan jemarinya dan kenangan-kenangan itu seolah-olah menyeruak ke sela-sela jarinya dan naik ke dadanya. Perlahan-lahan, ia mulai merasakan sesak dan sakit yang mendalam. Mungkin perasaan itu yang ia sebut rindu.

***
Cahaya fajar yang lembut menyentuh jendela dapur pagi itu. Jessica memanfaatkan hari libur untuk merilekskan pikirannya dan memikirkan jalan keluar untuk pentas dramanya. Novy datang ke rumah Jessica dengan maksud membantu sahabatnya itu untuk memikirkan jalan keluar yang tepat.  Keduanya mengobrol dengan santai di dapur sambil menikmati semangkuk sereal untuk sarapan bersama.
“Aku pikir, ide kak Michle sangat tepat,” kata Novy sambil menyuapi dirinya. “Jackson adalah satu-satunya pemeran yang pas untuk menggantikan kak Michle sebagai Romeo.”

Jessica melirik Novy sekilas dan menggeleng. Tidak. Cari jalan keluar yang lain.”

Novy mendesah. “Jalan keluar seperti apa? Kau sudah mengadakan audisi beberapa hari terakhir ini dan belum menemukan orang yang tepat, sementara itu pentas drama tinggal beberapa minggu lagi, apa kau sudah gila ingin mengambil risiko dan menghabis-habiskan waktu dengan memikirkan jalan keluar? Inilah satu-satunya jalan keluar yang kita punya.”
Jessica meletakkan sendoknya ke atas mangkuk dengan frustasi. “Tapi bagaimana caranya? Sekarang saja aku tidak pernah lagi bertemu dengan pria itu. Bagaimana caranya bisa memintanya untuk menggantikan Kak Michle? Dan walaupun kuminta, aku yakin ia pasti tidak akan mau!”

Jessica ikut meletakkan sendoknya dan membaca raut kekesalan yang tergurat di wajah Jessica. “Kalian tidak pernah bertemu lagi? Sejak kapan?”
Jessica mendesah dan tertunduk dalam. “Sejak kejadian kak Michle kecelakaan.”

“Apakah ia marah padamu?”

Ya, kurasa begitu. Tapi, entahlah.” Jessica mengaduk-aduk serealnya dengan sendok dan melanjutkan, “Sangat sulit untuk menjelaskan mengapa ia bersikap seperti ini padaku. Ia memang mengatakan bahwa ia ingin berhenti menggangguku, tapi aku sendiri merasa bahwa bukan itu alasannya. Ia mungkin marah dan membenciku atas perkataanku beberapa hari yang lalu.”

Saat ia melakukan itu, gadis itu teringat akan kejadian saat Jackson menciumnya. Entah bisa dibilang sebagai ciuman atau tidak, yang jelas, itu kali pertamanya Jessica merasakan ciuman walau bibir keduanya tak benar-benar saling bertemu.

Lagi-lagi rasa sesak itu menyebar di dadanya. Dan Jessica merasa sangat ingin menangis saat itu juga.
***
“Sica.!”

Gadis itu mendengar suara mamanya dari dapur yang sedang memanggilnya. Ia yang saat itu tengah merebahkan diri di ranjang segera bangkit dan membuka pintu kamar.

Ya..Ma?” sahutnya.

“Bisakah kau pergi ke supermarket sebentar? Susu dan sereal untuk sarapan esok pagi sudah habis,” pinta mamanya.

Jessica berdecak pelan. Ia sebenarnya sedang tidak berada dalam mood bagus sehingga terlalu malas untuk melakukan apa. Yang ia butuhkan hanyalah tidur dan bersantai sepanjang hari.

“Jessica, kau mendengar mama, kan?”

Iya, aku mengerti.”

Gadis itu mengenakan cardigan favoritnya dan membawa jimat itu bersamanya. Entah mengapa, akhir-akhir ini Jessica merasa jimat itu sangat penting, walau ia tak pernah merasakan manfaat dan fungsi jimat itu.

Saat ia datang, supermarket itu tampak lengang akan pengunjung dan itu membuatnya lega karena tak harus mengantri lama untuk membayar belanjaannya.
Gadis itu berjalan menuju rak dan mengambil dua kotak susu dan dua kotak sereal kesukaannya lalu memasukkannya ke dalam ranjang. Matahari telah tenggelam saat Jessica membayar belanjaannya dan keluar untuk berjalan menuju terminal bus.

Jessica terbelalak saat ia melihat Jackson juga berjalan kearahnya menuju terminal dari arah yang berlawanan. Keduanya saling bertukar pandang beberapa detik dan segera membuang muka begitu sampai di terminal. Situasi tampak begitu canggung ketika tak ada satupun dari keduanya yang berani membuka mulut dan menyapa satu sama lain. Keduanya memilih untuk duduk di bangku terminal dengan jarak yang berjauhan.

Jessica merasakan kepanikan yang luar biasa ketika ia mendengar bel dari jimatnya mulai berbunyi, mengisi kekosongan dan rasa canggung yang ada.

Tak berapa lama kemudian, sebuah bus berhenti di terminal tersebut. Jessica dan Jackson saling bertukar pandang beberapa detik untuk mengetahui reaksi masing-masing. Saat Jackson bangkit berdiri, Jessica memutuskan untuk tidak menumpangi bus yang sama dengan pria itu. Ia tidak mampu lagi merasakan kecanggungan yang terus menyesakkan dadanya sejak tadi.

Pria itu bergerak dan mulai naik ke bus sementara Jessica masih duduk terpaku di bangkunya. Supir bus yang masih menyadari kehadiran Jessica disana menjulurkan kepala.

“Nona, apakah Anda tidak ingin naik? Ini bus terakhir!” teriak supir bus tersebut.
Jessica melirik ke dalam bus dan melihat Jackson yang duduk di dekat jendela. Tidak, Pak, tolaknya sopan. “Aku menunggu jemputanku.”

Supir bus itu mengangkat bahu dan menutup pintu bus. Jessica memandangi bus itu pergi tanpa sedetik pun berkedip. Saat suasana benar-benar terasa sunyi, Jessica bisa mendengar dengan jelas bel dari jimatnya ikut berhenti berbunyi begitu bus itu menghilang ditelan belokan jalan.Gadis itu merogoh jimat dan memandanginya dengan penuh perasaan magis. Ia merasakan sesuatu dan jimat itu menandakan sesuatu. Ia berpaling lagi kearah belokan dimana bus itu menghilang dan menyadari bahwa jodohnya berada di dalam bus tersebut. Jackson.

***
Mamanya Jessica menoleh saat mendengar suara pintu rumahnya dibuka. Ia segera berlari kecil menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang datang dan mendapati Jessica masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Entah ia yang sedang salah lihat, tapi ia melihat Jessica menangis, tapi anaknya itu tertunduk dalam dan berusaha menyembunyikannya.
“Kau sudah pulang? Mengapa kau menangis? Apakah terjadi sesuatu?”
Jessica hanya menggeleng dan mengusap wajahnya yang basah. Gadis itu menyerahkan kantung belanja beserta sisa uang belanja pada uangnya dan segera naik ke kamarnya. Ia tidak memberi kesempatan pada mamanyanya untuk mempertanyakan sikap anehnya itu dan mengunci diri dalam kamar. Gadis itu menutup wajahnya dengan bantal dan menangis.

***

“Dimana Jessica?” Novy bertanya kepada teman-teman yang lain di gedung aula. Dan mereka hanya menggeleng tidak tahu.
“Sepertinya ia tidak datang. Mungkin saja sedang sakit. Mengapa kau tidak mencoba menghubunginya?” tanya salah seorang dari mereka.
“Aku sudah mencoba,” kata Novy dengan putus asa. “Tapi ia juga tidak mengangkat telepon dan membalas pesan singkatku. Aku rasa ada sesuatu yang terjadi pada dirinya.”
Benarkah? Lalu kita harus bagaimana? Masih banyak hal yang perlu diurus.”

Novy menatap wajah-wajah cemas di hadapannya sambil mendesah. Jessica, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kau tidak datang di saat orang-orang sangat membutuhkanmu?

Novy merasa terjebak akan situasi itu. Ia adalah satu-satunya orang yang dekat dan mengenal Jessica dengan baik, dengan begitu, orang-orang akan menganggap dirinya sebagai pengganti Jessica jika sahabatnya itu tidak ada.
“Apa yang terjadi pada lampunya?” tanya Novy saat melihat beberapa pria sedang kesulitan memperbaiki kabel-kabel lampu panggung.

“Rusak. Kau ingat, kan, kemarin? Saat kejadian Michle kecelakaan? Aku lupa mengatakan pada kalian bahwa lampu ini jatuh dari langit panggung dan hampir saja menimpa kepala Michle,” jelas salah seorang dari mereka.
Novy mengerutkan alis. “Jatuh dari langit panggung? Jadi, maksudmu, sebenarnya Jackson mendorong tubuh kak Michle untuk menghindarkannya dari jatuhnya lampu ini?”

Pria-pria itu saling bertukar pandang dan mengangguk dengan perasaan bersalah. “Ya, kami merasa bersalah pada Michle dan juga Jackson. Maafkan kami karena baru mengakuinya sekarang.”

Novy meneguk air ludahnya dengan perasaan khawatir. Ia merasa harus melakukan sesuatu dan memberitahu pada Jessica mengenai hal ini.
***
Mamanya Jessica berlari kearah pintu depan rumahnya ketika mendengar pintu itu diketuk oleh seseorang. Ia merasa lega karena akhirnya mendapati Novy berdiri di depan pintu dengan senyum sopan.
Tante, apakah Jessica ada?” tanya Novy.

Mama Jessica mengangguk. “Ya, masuklah!”

Mama Jessica mengajak Novy masuk dan mengantar Gadis itu menuju kamar Jessica di lantai atas. “Aku khawatir dengan sikap Jessica,” kata Mamanya. “Aku melihatnya menangis dan mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar. Ia bahkan tidak mau makan dan pergi ke kampus dengan alasan sedang tidak enak badan. Aku mencoba mengajaknya bicara, tapi ia juga tak ingin bicara. Aku benar-benar bingung harus melakukan apa. Untung kau datang. Aku rasa kau bisa membantu Jessica mengatasi masalahnya.”

Novy mengangguk dan tersenyum tegas. Setelah ditinggal sendiri, Novy menarik napas dalam dan mengetuk pintu kamar Jessica. Tak ada yang menyahut. Ia mengetuk pintu itu lagi dan kali ini berbicara.
“Sica, ini aku, Novy.”

Lagi-lagi tak ada suara.
“Sica, ada yang ingin kubicarakan padamu tentang Jackson. Sepertinya kita sudah salah menduga tentangnya. Ia tidak sungguh-sungguh ingin mencelakai Kak Michle saat itu, justru ia ingin menyelamatkan kak Michle dari jatuhnya lampu panggung. Kau lihat lampu yang pecah itu, kan?”

Kali ini penjelasan Novy membuahkan hasil. Terdengar suara kunci diputar dari dalam. Novy menerima sinyal penerimaan itu dengan perasaan gugup dan memutar knop pintu kamar Jessica dengan sangat pelan. Saat pintu itu terbuka, ia melihat lantai kamar Jessica dipenuhi oleh lautan tissue. Sementara itu, ia mendapati sahabatnya berbaring di atas ranjang dengan wajah bengkak, pucat,

Gadis itu langsung berlari dan memeluk sahabatnya itu dengan erat sementara Jessica kembali menangis di pelukan Novy. Tak ada yang perlu dijelaskan saat itu karena Novy sudah bisa melihat semuanya dengan sangat jelas. Di atas ranjang terdapat boneka Pororo berukuran sedang yang ia ketahui itu adalah boneka yang Jessica dapatkan dari Jackson saat mereka berkencan pertama kali di karnaval kampus. Entah itu bisa dikatakan sebagai kencan atau bukan, karena saat itu Jackson memaksa Jessica untuk ikut bersamanya. Dan walau ia tahu Jessica tidak pernah menyukai karakter kartun, tapi gadis itu tetap menyimpan boneka itu.

“Sica…,” bisik Novy. “Kau sebenarnya mencintainya, kan?”

Jessica mengangguk samar dan menyahut dengan suara parau. Mungkin aku gila, aku mencintainya. Sangat mencintainya”.




TBC…^-^