Main Cast : Jessica, Jackson
Support Cast : David.Novy,Michle
****************************************
Novy membekap mulutnya dengan
kedua tangan dan berusaha menahan tawa. Ia melirik Jessica yang duduk di tepi
ranjang dengan wajah bengkak. Novy baru saja membaca isi kotak pesan yang ada
dalam ponsel Jessica dan terkejut saat melihat ribuan pesan singkat Jackson
yang masih disimpan rapi. Pantas
saja ia tidak pernah meminjamkan ponselnya padaku, ternyata ia malu kalau aku
sampai mengetahui bahwa ia menyimpan semua pesan singkat yang dikirimkan
Jackson padanya, pikir Novy sambil terkikik geli.
“Ya, mengapa kau terkikik-kikik
seperti itu?” tanya Jessica merasa risih. “Apakah
ada yang lucu?”
Novy tak mampu menahan tawa dan
akhirnya terbahak keras. “Ya, kau ingin tahu apa yang
lucu? Kau sendiri! Dirimu! Lucu sekali. Aku bahkan sampai tidak menyadari bahwa
sebenarnya kau juga menyukai Jackson. Anehnya, jika kau menyukainya, mengapa
kau harus menolaknya terus-menerus?”
Jessica menunduk dalam. “Entahlah.”
Novy menatap sahabatnya itu bingung. Tidak
mengerti dengan jawaban Jessica, tapi seperti itulah yang sebenarnya. Jessica
tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya. Ia tidak menyadari
setiap kali ia sedang mengecek seluruh pesan singkat yang masuk ke inbox ponselnya, menghapus pesan singkat
dari orang lain, kecuali milik Jackson.
Pada intinya, ia sebenarnya menaruh minat pada pria itu, tapi tidak memercayai perasaannya
sendiri. Maka dari itu, ia selalu mencari-cari alasan agar ia membenci Jackson.
Kesalahan apa pun yang dibuat Jackson akan menjadi perkara besar untuknya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Novy sambil mengguncang
lengan Jessica.
Jessica sedikit tersentak dan tersenyum. “Aku baik-baik
saja.”
Novy mendesah lega. “Lalu, apa yang akan kau lakukan
sekarang? Kau ingin meminta maaf pada Jackson?”
“Sepertinya begitu. Tapi aku bingung, bagaimana harus
melakukannya? Ia tidak pernah lagi datang ke rumahku dan kami jadi jarang
bertemu karena ia terus menghindariku saat di kampus.”
“Kalau begitu kau yang harus mendekatinya.”
“Apa maksudmu?”
“Malam ini, datanglah ke rumahnya. Temui ia di jendelanya.
Seperti yang biasa ia lakukan padamu.”
***
Malam itu, Jessica sudah
memutuskan akan melakukan sesuatu untuk menemui Jackson, sesuai saran Novy.
Maka malam itu juga, seusai menghabiskan waktu makan malam bersama keluarganya,
Jessica menyelinap keluar dari rumah dan mendatangi rumah Jackson. Ini kali
pertamanya ia mendatangi rumah seorang pria dan
ini membuatnya gugup.
Jessica mengamati rumah sederhana
di depannya sambil merapatkan cardigan yang
dipakainya. Gadis itu sibuk memandangi dua jendela kamar
yang dimiliki oleh rumah Jackson. Yang jelas, satu jendela kamar adalah milik Jackson,
sementara yang lain adalah milik orangtua Jackson. Namun, yang menjadi masalah
adalah, Jessica tidak mengetahui yang mana milik Jackson. Ia khawatir, bila ia
mendatangi jendela kamar yang salah.
Gadis itu baru bisa bernapas lega setelah melihat siluet pria yang ia cari melintas sekilas pada
jendela kamar yang di sebelah kiri. “Itu dia!”
Jessica berjalan dengan langkah
pelan untuk meredam bunyi sepatunya pada rumput yang ada di halaman rumah Jackson. Gadis itu mendongak dan melihat jendela
kamar Jackson yang beberapa meter di atas kepalanya. Ia membungkuk untuk
mengambil batu kerikil dan melemparkannya pada kusen jendela.
“Ya, Jackson!” bisiknya. Tapi tidak ada tanda-tanda Jackson akan muncul dari
balik jendela kamar.
Jessica tidak patah arang. Ia
mengambil batu kerikil lainnya dan melemparkannya lagi tepat mengenai kusen
jendela. “Ya, Jackson!” suara
bisikan Jessica terdengar putus asa, ketika ia lagi-lagi tidak mendapat respon
apa pun. Apa ia tuli? Mengapa ia tidak bisa mendengar
suara berisik yang berasal dari lemparan batuku? Jessica terus
mengeluh dalam hati. Ia memandangi jendela itu dengan berkacak pinggang,
memikirkan cara lain untuk menyadarkan Jackson. Diraihnya batu yang sebesar
genggaman orang dewasa dari balik koleksi tanaman keluarga Jackson. Ini mungkin bisa merebut perhatiannya,
pikirnya.
Jessica menimbang-nimbang berat
batu itu dengan telapak tangannya dan bersiaga dalam posisinya. Ia melempar
batu itu ke atas dengan sekuat tenaga lalu.. prang! Jendela kaca kamar itu pecah. Jessica
terlonjak. Suasana di dalam rumah Jackson terdengar gaduh.
“Hei! Siapa yang melakukan itu?!”
Jessica mendengar suara berat
milik ayah Jackson dari dalam kamar tersebut. Ia sepertinya telah salah menduga
bahwa itu adalah kamar milik Jackson. Persis ketika ayah Jackson membuka
jendela kamarnya yang pecah, Jessica bersandar pada dinding rumah,
menyembunyikan diri dari area pandangan ayah Jackson. Gadis itu menggigit jari dan merasakan degup
jantungnya berpacu sangat cepat ketika mendengar suara ayah Jackson yang
menyeramkan.
“Hei, Dimana kau? Jangan bersembunyi! Jangan menjadi pengecut! Keluar
sekarang juga!” teriak ayah Jackson.
“Ayah, ada apa ini?” Tiba-tiba Jessica mendengar suara Jackson.
“Ada yang memecahkan kaca jendela! Menggunakan batu!”
Jackson mengernyit. Ia ikut
menjulurkan kepalanya keluar dari jendela dan tidak menemukan siapa pun di luar
sana. Tapi, beberapa saat kemudian, ketika ayahnya mundur dan hendak keluar
rumah lewat pintu, Jackson melihat siluet seorang gadis menyelinap keluar dari area rumahnya.
“Jessica?”
***
Novy melambai kearah Jessica
ketika melihat gadis itu
berjalan masuk ke kelas dengan wajah keruh. Gadis itu
menduga pasti ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu sehingga Jessica
tidak membalas lambaian tangannya.
“Kenapa? Mengapa wajahmu kusut seperti itu?” Novy menarik lengan Jessica untuk duduk bersamanya. Jessica
tertunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Aku telah membuat
kekacauan,” gumamnya.
“Apa?”
“Aku telah membuat kekacauan!” pekik Jessica kesal. Ia mengangkat wajahnya dan meringis kearah
Novy. “Aku datang ke rumah Jackson semalam dan tidak sengaja memecahkan
jendela kamar orangtuanya!”
Novy terkesiap. “APA?
Bagaimana bisa?”
Jessica menggeleng, merasa frustasi. Ia baru saja ingin
menjelaskan seluruh kronologi kejadiannya, namun suaranya tertahan begitu
melihat Jackson masuk ke dalam kelas. Tatapan keduanya sempat bertemu beberapa
detik, tapi Jessica langsung menghindar dan berpura-pura menoleh kearah lain.
Jackson tersenyum tipis saat itu.
Ia mencari tempat duduk kosong tepat dua baris di belakang Jessica dan
mengamati raut panik gadis itu
dalam diam.
“Jackson !,” Jessica dan Novy mendengar suara David mendekat kearah pria itu.
“Kudengar, tadi malam rumahmu
sedang dalam keadaan kacau. Apa yang terjadi?”
“Ada seseorang yang melempar batu ke jendela kamar orangtuaku,” sahut Jackson dengan suara nyaring, membuat teman-teman seisi
kelas menoleh kearahnya.
Jessica merasakan dirinya menciut dibalik pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dari teman-temannya. Ia merasa disudutkan tanpa sebab.
“Benarkah? Siapa yang melakukannya?
Mengapa ia melakukan itu?”
Jackson berdeham. Ia melirik
kearah Jessica dan menyahut dengan volume suara yang sama, “Entahlah. Sepertinya orang itu sangat
membenciku. Mungkin tadinya ia berniat untuk melempar batu ke jendela kamarku,
namun sayangnya ia melempar ke jendela yang salah.”
Jessica semakin tidak merasa
nyaman. Ia menggenggam tangan Novy dengan erat dan menatap sahabatnya itu
dengan tatapan meminta tolong. Tapi Novy mengangkat bahu dan juga tidak tahu
harus melakukan apa. Satu-satunya cara untuk menghindari dari situasi tidak
mengenakkan itu adalah dengan keluar dari kelas. Maka pada detik itu juga, Novy
segera menarik tangan Jessica bersamanya dan menyeretnya ikut keluar kelas.
Jackson memerhatikan Jessica dan Novy yang keluar kelas dengan
senyum tersungging pada kedua sudut bibirnya.
***
“Aku tidak mau lagi berurusan dengannya,” teriak Jessica putus asa.
Novy mengusap punggung Jessica dan berkata, “Tapi kau
tidak bisa melakukan itu. Jangan merasa putus asa. Lagipula kau hanya
memecahkan jendela kamar dan itu tidak sengaja. Apa yang salah dengan itu? Jika
kau sudah berbaikan dengannya, kau bisa mengakuinya nanti dan juga meminta
maaf.”
“Tapi aku merasa malu,! Kau
sedang tidak berada di posisiku, maka dari itu kau tidak mengetahuinya!” Jessica memekik pelan.
Novy menggelengkan kepala. “Aku mengerti perasaanmu dan
aku berusaha untuk membantumu memperbaiki situasi ini.”
Jessica tak lagi menyahut. Ia terus tertunduk dan membiarkan
rambutnya yang jatuh menutupi seluruh wajahnya. Ia merasa sangat malu dan
usahanya tidak berguna dan sia-sia. Sementara itu, Novy terus mengusap punggung
sahabatnya itu dan memerhatikan keadaan sekitar kampus yang mulai sepi. Hujan
tiba-tiba turun dan membasahi gedung dan lapangan, memaksa beberapa mahasiswa
untuk tetap bertahan di kampus.
Novy melihat Jackson berdiri di
teras gedung sebelah sambil mendongak kearah langit. Pria itu
terlihat kesal karena harus menunggu hujan reda. Sebuah ide cemerlang muncul di
benak Novy. Gadis itu
langsung mengguncang-guncang lengan Jessica untuk menarik perhatiannya.
“Sica, lihat! Sica..!”
Jessica mengangkat wajahnya
dengan malas dan menyahut, “Apa?”
“Lihat!” Novy menunjuk kearah Jackson. “Ia
tidak membawa payung dan ini kesempatanmu.”
“Kesempatan untuk apa?”
“Kesempatan untuk berbaikan dengan Jackson!” Novy meraih payung dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Jessica.
“Pulanglah bersamanya menggunakan payung ini.”
“Apa? Tapi..”
“Tidak ada kata ‘tapi’ lagi!” Novy mendorong tubuh Jessica untuk segera bangkit berdiri dan
menghampiri Jackson. “Datangi ia dan tawarkan untuk pulang bersama!”
Walau Jessica terlihat ragu dan ingin menolak, tapi Novy terus
mendorong tubuhnya. Dan dengan terpaksa, ia mengembangkan payung tersebut dan
berjalan menembus hujan menuju gedung seberang, dimana Jackson berada.
Ia bisa merasakan jantungnya
berdegup kencang ketika jarak antara dirinya dan Jackson semakin mendekat. Tinggal beberapa meter lagi.. Tinggal beberapa
meter lagi. Jessica melihat seorang gadis dengan payung bermotif bunga berjalan
menuju gedung tersebut, namun dari arah yang berbeda darinya. Dan ketika sedang
berjalan, sepatu gadis itu
sepertinya tersangkut pada kolam lumpur.
Jessica melihat Jackson yang
berlari kecil, menembus hujan, menghampiri gadis itu
dan membantu gadis itu
mengeluarkan sepatunya yang ditelan kolam lumpur. Setelah itu,
Jessica melihat gadis itu mengucapkan sesuatu dan tersenyum
pada Jackson. Walau udara sedang sangat dingin dan menggigit, Jessica bisa
merasakan rasa cemburu yang panas naik ke atas kepalanya.
Dan rasa panas itu mulai
menyesakkan dadanya ketika gadis itu
melingkarkan lengannya pada tangan Jackson dan keduanya pulang bersama. Jessica
merasa kesal dan menghentakkan kakinya ke tanah dengan penuh rasa amarah. Ia
membalikkan badan dan kembali berjalan menuju Novy.
“Mengapa kau kembali? Mana Jackson?” tanya Novy.
“Mati!”
***
Hanya tersisa dua minggu lagi sebelum
pementasan drama. Jessica merasa panik dan juga putus asa. Sepertinya pentas
dramanya akan gagal dan hari-harinya akan mulai kacau saat itu juga.
Sementara yang lain sedang
beristirahat setelah latihan akting selama beberapa jam, Jessica memutuskan
untuk beranjak seorang diri menuju kantin. Saat keluar dari pintu ruang aula, gadis itu
terkejut ketika kepalanya terantuk dada bidang seorang pria. Ia
mendongak dan melihat Jackson memandanginya dengan bingung. Jessica menelan
ludah dengan gugup dan menarik kepalanya, namun ia segera meringis ketika
menyadari rambutnya tersangkut pada kancing kemeja Jackson.
“Auch! Lepaskan!” ringis Jessica, tiba-tiba merasa
kesal.
“Tunggu sebentar. Biar kubantu!” Jackson mencoba menarik rambut Jessica dengan pelan agar
terlepas dari kancing kemejanya.
“Cepat sedikit!” tukas Jessica sambil terus
menarik-narik kepalanya.
Jackson berdecak kesal. Ia menarik pinggang Jessica sehingga
tubuh keduanya sangat rapat. “Bagaimana aku bisa melakukannya dengan
cepat jika kau terus bergerak!”
Jessica menghela napas. Ia akhirnya berhenti bergerak dan
membiarkan Jackson melepaskan rambutnya yang tersangkut.
“Auch!” Gadis itu meringis hebat setelah Jackson berhasil mencabut rambutnya
dari kancing kemejanya.
“Ini rambutmu.”
Jessica mengambil rambutnya yang tercabut dan meringis. “Ya
Tuhan, banyak sekali.”
Jackson mengamati wajah Jessica
dalam diam. Diam-diam, ia merasa begitu bahagia dan merasakan kerinduan yang
mendalam karena dapat menikmati wajah Jessica dalam jarak sedekat ini. Ia tidak
bisa membayangkan lagi bagaimana ia harus menjalani hari-harinya yang telah
berlalu tanpa melihat wajah gadis itu
lagi.
Untuk pertama kalinya, Jessica
merasa sangat gugup ketika ia dilihati seperti itu oleh Jackson. Gadis itu
segera membuang muka dan berusaha menepis perasaan malunya. Ia berjalan
melewati Jackson, namun pria itu
meraih tangannya.
“Sica…,” panggilnya. Suara Jackson nyaris terdengar seperti sebuah
bisikan.
Jessica menoleh. “Hm?”
“Apa kau masih marah padaku?”
Jessica terdiam. Jackson, sebaik apa dirimu ? Bukankah
seharusnya aku yang menanyakan itu bodoh?
Jackson menatap Jessica lamat-lamat. “Aku tidak tahan lagi
dengan situasi ini. Aku tidak tahan lagi dengan kondisi ini. Aku merasa
kesepian. Aku tidak suka dengan situasi canggung yang membatasi kita.”
Aku juga, batin Jessica.
“Jadi..” Jackson berdeham. “Bagaimana
kalau kita..”
“Menjalin hubungan?” ucap Jessica tanpa sadar.
“Apa?”
Jessica menggigit bibirnya dan
menggeleng dengan cepat. “Tidak, tidak. Maksudku..
kau tadi.. ingin mengatakan apa?”
Jackson tertawa kecil. “Aku ingin berbaikan denganmu.
Boleh, kan?”
Jessica terdiam untuk beberapa
detik dan memandang sepasang mata sendu milik Jackson. Gadis itu
mengangguk dan mengulum senyum. “Ya, tentu saja.”
Keduanya bertukar senyum dan pandang. Dan keduanya sama-sama
menikmatinya. Jessica tiba-tiba tersadar dan melepaskan genggaman Jackson pada
tangannya dan pamit untuk ke kantin.
“Sica..!” panggil Jackson pada gadis itu
sebelum ia menghilang ke dalam kerumunan orang di kantin. “Apakah aku
boleh mengunjungimu lagi seperti biasa?”
Jessica mengangguk dan tersenyum. “Aku akan menunggumu.”
***
Jessica tak sungguh-sungguh
sedang berkonsentrasi mengerjakan dramanya. Yang ia lakukan sejak tadi hanyalah
menoleh kearah jendela dan menunggui Jackson datang. Kenapa ia lama sekali? Gadis itu
berdecak kesal dan akhirnya berkonsentrasi kembali pada dramanya, persis ketika
terdengar suara ketukan pada kusen jendelanya.
Gadis itu melompat dari atas ranjang dan menghampiri jendela kamarnya.
Ia membuka daun jendelanya dan melihat tak ada siapa pun di bawah sana. “Dimana
Jackson?”
“Tada~” Tiba-tiba saja pria itu
muncul dan berdiri di hadapan Jessica seperti seorang badut. Jessica terlonjak
dan nyaris terjungkal ke belakang saking kagetnya.
“Ya, kau mengagetkanku, bodoh!” pekik gadis itu kesal.
Jackson terkekeh. “Maaf.
Aku boleh masuk ke dalam, kan?”
Tanpa menunggu persetujuan Jesscia, pria itu memanjat pada kusen jendela dan
bersiap masuk ke dalam kamar.
“Apa yang kau lakukan? Mengapa kau
harus masuk lewat jendela? Kau bisa masuk lewat pintu depan jika kau mau,” kata Jessica.
Jackson menggeleng. “Tidak. Lewat
jendela lebih efisien.”
Pria itu mengangkat satu kakinya dan bertumpu pada kusen jendela
untuk melompat masuk. Namun, karena diluar sedang hujan dan menyebabkan
sepatunya yang basah dan licin, membuat lompatan Jackson tidak sempurna. Pria itu melompat kearah Jessica dan
mendorong tubuh gadis itu untuk jatuh bersamanya.
Wajah keduanya berubah menjadi merah ketika jarak wajah mereka
hanya terpaut beberapa senti. Terlebih lagi, posisi badan dengan Jackson
menindih tubuh Jessica membuat situasi canggung itu semakin membuat keduanya
merasa risih. Jackson segera bangun dan membantu Jessica untuk bangkit
bersamanya.
“Maaf. Aku benar-benar tidak
sengaja,” kata Jackson sambil
menepuk-nepuk bajunya yang tidak benar-benar kotor.
Jessica tersipu malu. “Tidak
apa-apa.”
“Apa yang sedang kau kerjakan?” tanya Jackson sambil menuding laptop Jessica yang menyala di
atas meja belajar.
“Pentas drama. Kau ingat, kan, kak
Michle tidak bisa memerankan
Romeo karena..”
Jessica melihat Jackson dengan
perasaan bersalah. “Maaf, aku tidak bermaksud
mengatakan sesuatu yang buruk. Aku tahu kalau kau berusaha menyelamatkan kak
Michle dari jatuhnya lampu
panggung.”
Jackson tersenyum hangat. “Tidak
apa-apa. Lagipula, sepertinya aku memang salah karena mendorongnya
terlalu keras.”
Keduanya terdiam dan merasa tidak enak satu sama lain. Jackson
berdeham keras untuk menetralisir udara yang berputar-putar di atas mereka dan
melanjutkan, “Kalian masih kesulitan untuk mencari pengganti pemeran
Romeo, kan?”
“begitulah,” sahut Jessica lirih.
“Aku bisa menggantikan kak Michle untuk peran Romeo,” seru Jackson semangat.
Jessica memandangi Jackson dengan ragu. “Tapi, bagaimana
caranya? Pentas drama tinggal seminggu lagi dan kau belum latihan untuk
menghapalkan naskah.”
“Aku sudah menghapalnya,” tukas Jackson. “Selama
kita tidak saling bicara, diam-diam aku sudah latihan untuk peran Romeo karena
aku tahu kau juga diam-diam berharap bahwa aku bisa menggantikan kak Michle untuk
peran Romeo.”
“Cih, percaya diri sekali,” desis Jessica.
“Aku terlalu percaya diri?” Jackson terbahak. “Lalu, bagaimana denganmu? Aku tahu,
kau diam-diam begitu ingin berbaikan denganku, bukan? Maka dari itu kau datang
ke rumahku dan memecahkan jendela kamar orangtuaku?”
Jessica menelan ludah. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku melihatmu menyelinap kabur
dari rumahku sebelum ayahku keluar dari pintu,” kata Jackson sambil tersenyum
penuh kemenangan.
Jessica menepuk jidatnya dan
mengutuki dirinya sendiri. “Maafkan aku. Tadinya kupikir
lemparanku tidak akan meleset.”
Jackson terbahak lagi. “Iya,
tidak apa-apa. Jadi, bagaimana dengan peran Romeo itu? Kau
memercayaiku untuk berperan sebagai Romeo, kan?”
Jessica mengangguk. “Ya, aku
memercayakannya padamu.”
***
Hari Thanksgiving. Matahari bersinar hangat pagi itu,
menembus gedung aula. Sebuah banner besar bertuliskan ‘Romeo &
Juliette’ terpampang cukup jelas di depan pintu masuk gedung aula. Orang-orang
mulai berbondong masuk ke gedung aula, memilih bangku penonton yang mereka
sukai.
“Apa kalian telah siap?” Jessica berseru kearah
pemeran-pemeran yang sedang berdiskusi.
“Ya, kami siap!”
Tirai panggung dibuka dan suara riuh tepuk tangan penonton
menyambut para pemeran satu per satu. Jessica mengawasi jalannya drama dari
balik tirai. Tangannya menggenggam naskah, mencoba mencocokkan setiap adegan
dan mengoreksi kalau-kalau ada kesalahan. Dan sejauh ini, semua adegan berjalan
dengan sempurna, sampai tersisa beberapa adegan terakhir.
Jessica membuka lembar-lembar naskah terakhir dan menelan ludah
saat membaca adegan terakhir. “Romeo dan Juliette mengungkapkan perasaan
mereka masing-masing dan mereka.. berciuman..”
Gadis itu mengangkat wajahnya dan melihat Jackson dan Novy sedang
beradu akting di atas panggung. Keduanya tampak serasi. Cantik dan tampan. Rasa
cemburu itu naik ke atas dada Jessica, terasa menyesakkan.
“Jackson dan Novy akan berciuman,” gumamnya pelan.
Narator yang berdiri di sudut
panggung mulai memasuki adegan-adegan terakhir. Novy yang mendapatkan adegan
terakhir, mundur ke backstage untuk
menarik napas. Wajah gadis itu
kemerahan karena kesulitan untuk mengatasi rasa takutnya saat berada di
panggung dan ditonton ratusan orang penonton.
“Sica, bagaimana aktingku?” tanya Novy dengan wajah berseri. Ia mengipas-ngipas dirinya
dengan telapak tangan. “Apakah memuaskan?”
Jessica tersenyum tipis. “Ya,
sangat memuaskan.”
Novy mengernyit, merasakan keanehan sikap Jessica. “Kau
baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja.”
Novy menolak pengakuan Jessica
yang tidak beralasan. Gadis itu
mengintip naskah yang sedang Jessica baca dan mengangguk-angguk saat melihat
adegan terakhirnya dengan Jackson. Kiss scene.
“Aku sepertinya tidak bisa melanjutkan drama ini,” kata Novy sembari melepas sarung tangan kostumnya.
“Apa? Kenapa?” tanya Jessica yang terperanjat. “Kau tidak bisa berhenti
begitu saja di tengah jalan. Masih ada adegan terakhir!”
Novy menggeleng dan tersenyum
penuh arti. Ia memberikan sepasang sarung tangan berenda itu pada Jessica dan
berkata, “Adegan ciuman itu? Hm, Tunggu!
Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau ingin membuat drama Romeo &
Juliette ini berbeda? Happy
ending?”
Jessica mengangguk dengan bingung.
“Kalau begitu, buatlah cerita ini
menjadi happy ending,” kata Novy sambil mengerlingkan
matanya.
***
Jackson merasakan kegelisahan
yang tidak berkesudahan ketika adegan terakhir tiba, mengingat ia harus
melakukan adegan ciuman dengan Novy. Ia merasa khawatir tanpa sebab. Matanya
melirik kearah backstage dan
mendapati Jessica tidak lagi berada di sana. Entah kemana.
Pria itu kini masih berdiri di tengah panggung dan menanti Novy
muncul dari balik tirai panggung. Ketika tirai panggung terbuka, Jackson
terkesiap dengan perasaan penuh takjub ketika melihat Jessica berdiri di sana
dengan gaun berenda yang seharusnya dikenakan oleh Novy. Tak hanya Jackson,
seluruh penonton merasa aneh dengan pemeran pengganti Juliette yang secara
tidak terduga ini.
Jessica menarik gaunnya dan
berjalan menghampiri Jackson dengan langkah anggun.
Jackson tak sekalipun berkedip saat
melihat gadis itu
menghampirinya.
“Kau cantik sekali,” bisik Jackson ketika Jessica
kini berdiri di hadapannya.
Jessica tersenyum. “Itu bukan bagian dari naskah.”
Jackson ikut tersenyum. Ia meraih
tangan Jessica dan mengecupnya. “Aku Mencintaimu, Julietteku.”
“Aku juga mencintaimu, Romeoku.”
Jackson merasakan degup
jantungnya bekerja di atas normal saat wajah Jessica mendekat. Gadis itu
menjinjit dan mengecup bibir Jackson. Jackson bisa merasakan jiwanya bersuka
cita, kebahagiaan yang melompat-lompat riang di dalam dadanya.
Keduanya membuka mata dan saling
menatap satu sama lain, ketika ciuman itu selesai. Jessica melingkarkan
lengannya pada leher Jackson dan memeluk pria itu
sangat erat.
“Ucapan cintaku tadi diluar
naskah,” bisiknya di telinga Jackson.
“Aku tahu,” Jackson balas berbisik.
“Dan aku juga mendapatkan ciuman selamat malam yang selama ini selalu
kuimpikan.”
Jessica tertawa pelan. “Itu
bukan ciuman selamat malam. Tapi hadiah Thanksgivingku untukmu.”
Walau seluruh penonton dibuat
bingung dengan pergantian pemeran, mereka tetap berdiri dan memberikan standing applause untuk drama Jessica. Riuh tepuk tangan
itu terdengar begitu menyenangkan di telinga Jessica. Ia merasa puas. Segalanya
memang happy ending. Bukan hanya untuk drama Romeo
& Juliette yang ia rombak. Tapi juga pada drama percintaannya sendiri.Happy ending.
THE END